Entri Populer

Selasa, 11 Desember 2012

Syekh Yusuf Penyebar Islam di Afrika Selatan

Syekh Yusuf al-Makassari
Syekh Yusuf al-Makassari (sumber: www.nu.or.id)
Syekh Yusuf al-Makassari berjuang menyebarkan syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di Afrika Selatan.

Muhammad Yusuf lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada 13 Juli 1627. Ayahnya bernama Abdullah, sementara ibunya adalah seorang perempuan keluarga Kerajaan Gowa Sultan Ala'uddin yang bernama Aminah. Nama Muhammad Yusuf diberikan oleh Sultan Ala'uddin sendiri.

Seperti yang dikutip dari situs NU Online, Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan Islam yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Kerajaan ini terletak di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Gowa dan beberapa kabupaten di sekitarnya termasuk Kotamadya Makassar.

Muhammad Yusuf dididik menurut tradisi Islam yang kuat. Ia diajarkan Bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan, Muhammad Yusuf berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.

Karena salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus berada di Cikoang, sebagai seorang putera keluarga bangsawan maka Muhammad Yusuf pun berkesempatan belajar ke sana. Cikoang pada saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama.

Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW.  Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Beberapa di antara para guru Muhammad Yusuf yang terkenal adalah Syeikh Jalaludin al-Aidit, Sayyid Ba'lawi At-Thahir dan Daeng Ri Tassamang.

Secara geografis, Cikoang saat ini berada termasuk ke dalam wilayah kecamatan Mangarabombang Kabupaten Talakar yang terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 60 km dari Kota Metropolitan Makassar.

Hingga saat ini, di Cikoang terkenal dengan ritual Maulid Akbar Cikoang atau biasa disebut Maudu' Lompoa Cikoang (dalam bahasa Makassar) yang merupakan perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam perayaan ini digelar berbagai atraksi budaya dengan ritual-ritual keagamaan yang digelar setiap tahun di Bulan Rabiul Awal.


Berdakwah dan Mengembara

Sekembalinya belajar dari Cikoang Muhammad Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa. Pada usia 18 tahun kemudian Muhammad Yusuf memulai pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1644, dengan menumpang kapal Melayu, Muhammad Yusuf segera berlayar untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu-ilmu agama di Timur Tengah.

Sesuai rute perjalanan kapal Melayu yang singgah di berbagai pelabuhan kerajaan-kerajaan Nusantara waktu itu, Muhammad Yusuf banyak menyinggahi berbagai daerah Nusantara. Salah satu yang kemudian menjadi sangat penting dalam perjalanan hidup dan perjuangan Muhammad Yusuf adalah Banten, sebuah pelabuhan dagang yang dikendalikan oleh Kerajaan Islam Banten.

Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang penguasa terakhir Kesultanan Banten. Selain Banten, Muhammad Yusuf juga sempat singgah di Aceh dalam perjalanan pengembarannya ini.

Dari Aceh, Muhamamad Yusuf kemudian berlayar ke Gujarat, Sebuah kawasan yang menjadi salah satu negara bagian India sejak 1 Mei 1960. Gujarat dikenal sebagai tempat yang asal para wali penyebar agama Islam di Nusantara, termasuk beberapa wali songo yang kemudian bermukin di Jawa.

Di Gujarat inilah dikabarkan Muhammad Yusuf sempat bertemu dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy,

Beberapa pendapat menyatakan bahwa Muhammad Yusuf bertemu dangan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri ketika Muhammad Yusuf singgah di Aceh. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syeikh Nuruddin Ar-Raniri meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H./21 September 1658 M. di Aceh.

Pada masa-masa sebelum tahun 1658 inilah Muhammad Yusuf bertemu dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh. Dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Muhammad Yusuf belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah.

Dari Aceh, Muhammad Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus (Suriyah) hingga akhirnya ke Mekkah dan Madinah. Konon, Muhammad Yusuf sempat berkelana hingga ke Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai 'Negeri Rum'. Di Yaman, Muhamamd Yusuf berguru pada Syeikh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi,

Di Damaskus Muhammad Yusuf berguru kepada Syeikh Abu Al-Barkah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Konon gurunya inilah yang memberikan laqob (gelar panggilan) kepada Muhammad Yusuf  dengan “Al-Makassari.”  Syeikh Abu Al-Barkah adalah gurunya yang memberikan ijazah Tarekat Khalwatiyah kepadanya. Kelak, setelah Muhammad Yusuf menjadi seorang ursyid, Ijazah Tarekat Khalwatiyah inilah yang kemudian menjadikannya dikenal sebagai Syeikh Yusuf Tajul Khalwati.

Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah) Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi'i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi.

Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.


Berjuang Melawan Penjajahan

Dengan Kedua Isterinya, isteri pertama yang menemaninya selama berkelana dan isteri ketiga yang baru dinikahinya sewaktu di Jeddah, Syekh Yusuf al-Makassari pun kembali ke Nusantara. Beberapa sumber menyebutkan, Syekh Yusuf al-Makassari tidak pernah kembali ke Gowa, namun langsung menetap di Banten.

Sementara beberapa pendapat menyebutkan, setelah Kesultanan Gowa mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Belanda, Syekh Yusuf al-Makassari kembali berlayar ke Banten, ke tempat sahabatnya semasa remaja yang kini telah menjadi seorang raja bergelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten, Sekitar tahun 1670 Syekh Yusuf al-Makassari diangkat menjadi mufti (penesehat spiritual) dengan murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Syekh Yusuf al-Makassari tinggal kemudian menikah lagi dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa.

Kedalaman ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf menjadikan Beliau begitu cepat terkenal dan menjadikan Banten sebagai Pusat pendidikan Islam. Banyak Murid murid yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk belajar kepada Syekh Yusuf al-Makassari. Disamping mengajarkan tentang ilmu-ilmu syariat beliau juga mengajarkan ilmu beladiri untuk berjuang bersama melawan penjajah Belanda. Sehingga banyak di antara para pendekar di kesultanan Banten adalah murid Syekh Yusuf al-Makassari.

Murid-murid Syeih yusuf Al makassari terkenal sebagai pendekar pendekar Banten yang kebal terhadap senjata membuat Pasukan Belanda kalang kabut. Syekh Yusuf al-Makassari memiliki pengaruhnya yang sangat besar terhadap rakyat Banten untuk melawan Penjajah Belanda.

Syeikh Yusuf al-Makassari memiliki peran sangat penting dalam penyerbuan Banten ke Batavia. Ketika Belanda berhasil memecah belah serta mengadu domba terhadap keluarga Sultan, maka Banten terpaksa direpotkan oleh pemberontakan dari dalam keluarga kerajaan sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa pun terpaksa berperang melawan puteranya sendiri yang bernama Sultan Haji dengan dukungan militer Belanda. Syekh Yusuf al-Makassari beserta 4.000 tentara Makassar dan Bugis memihak Sultan Ageng Tirtayasa.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf  al-Makassari pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syekh Yusuf  al-Makassari terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya.

Namun pada tahun ini juga Syekh Yusuf  al-Makassari dapat ditangkap oleh Belanda. Awalnya, Syeikh Yusuf  al-Makassari ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syekh Yusuf  al-Makassari dan keluarga kemudian diasingkan ke Sri Lanka.

Pada bulan September 1684, Syekh Yusuf  al-Makassari bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke pulau Ceylon, kini Sri Lanka. Sementara Sultan Ageng Tirtayasa sendiri berhasil ditangkap dan dikurung di Batavia hingga meninggal sebagai tawanan Belanda pada tahun 1692.

Karena telah berada dalam pengasingan Belanda, maka sejak di Sri Lanka inilah secara praktis, Syekh Yusuf  al-Makassari tidak lagi dapat menjalani dan memimpin perjuangan fisik. Maka Syekh Yusuf  al-Makassari pun mulai mencurahkan seluruh hidupnya untuk diabdikan dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam. Syekh Yusuf  al-Makassari kemudian menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis.

Di pengasingannya di Sri Lanka, Syekh Yusuf  al-Makassari bertemu dengan ulama Sri langka bernama Syekh Ibrahim bin Mi'an dan sering mengadakan diskusi kegamaan dan majlis ta'lim. Pembahasan tentang konsep Tasawuf yang diajarkan oleh Syekh Yusuf  al-Makassari sangat menarik minta para ulama serta jamaah setempat dan mereka meminta kepada Syekh Yusuf  al-Makassari untuk membuat sebuah kitab tentang tasawuf. Syekh Yusuf  al-Makassari  akhirnya mengarang Kitab tentang konsep tawasuf yang berjudul 'Kaifiyatut Tasawwuf'.

Dari pengasingannya, Syekh Yusuf  al-Makassari aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara.

Para kafilah haji inilah yang membawa karya-karya Syekh Yusuf  al-Makassari ke Nusantara sehingga dapat dibaca di Indonesia sampai sekarang. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf  al-Makassari tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.


Dakwah Tiada Henti

Mengingat aktivitas dakwah Syekh Yusuf al-Makassari yang terus meningkat dan dinilai membahayakan stabilitas politik penjajahan Belanda, maka VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syekh Yusuf al-Makassari ke Kaapstad di Afrika Selatan. Belanda khawatir dampak dakwah agama Syeikh Yusuf al-Makassari akan berpengaruh buruk bagi dan politik Belanda di Nusantara. Murid-murid Syekh Yusuf al-Makassari terus mengobarkan perlawanan-perlawanan yang mengancam kekuasaan Belanda di Nusantara.

Dalam usia 68 tahun, Syekh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syekh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syekh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.

Bersama ke-12 pengikutnya yang dinamakan imam-imam, Syekh Yusuf al-Makassari memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan orang buangan politik, termasuk di kalangan orang-orang Afrika kulit hitam yang telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten.

Syekh Yusuf al-Makassari terus berjuang menyebarkan syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di Afrika Selatan. Syekh Yusuf al-Makassari kemudian hidup sebagai sufi yang mengajarkan tarekat Qadiriyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan.


Karomah dan Kewalian

Sebagai seorang mursyid tarekat, Syekh Yusuf al-Makassari dikisahkan memiliki berbagai karomah dan kewalian. Salah satu yang sangat terkenal adalah mengislamkan kapten kapal yang membawanya ke pengasingan terakhir menuju Afrika Selatan.

Menurut cerita, dalam pelayaran yang membawanya menuju Kapstaad, atas kapal Voetboog yang ditumpanginya beserta rombongan dihantam oleh badai besar yang membuat nakhoda berkebangsaan Belanda, Van Beuren, ketakutan karena mengira kapalnya akan tenggelam.

Namun berkat wibawa dan karisma Syekh Yusuf al-Makassari kapten beserta nahkoda kapal dapat tetap tenang dan mengendalikan kapal dengan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk agama Islam dan turut tinggal di pengasingan bersama Syekh Yusuf al-Makassari. Sampai sekarang keturunan kapten kapal ini tetap memeluk Islam Muslim masih bermukim di Afrika Selatan.

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf al-Makassari tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699. para pengikut Syekh Yusuf al-Makassari menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan.

Syekh Yusuf al-Makassari dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti keajaiban atau mukjizat. Bahkan, Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menyebut Syekh Yusuf al-Makassari yang juga salah seorang pahlawan nasional Indonesia ini sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.

Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syekh Yusuf al-Makassari dibawa kembali ke Tanah Airnya. Permintaan ini dikabulkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga jasad Syekh Yusuf al-Makassari pun diboyong kembali ke Nusantara.

Jasad Syekh Yusuf al-Makassari tiba di Goa pada tanggal 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa tanggal 6 April 1705/12 Zulhidjah 1116 H.

Seperti makamnya di Faure, makamnya di Lakiung juga banyak diziarahi masyaraka

Senin, 23 Juli 2012

AMALAN PEMBUKA HIJAB

Pembuka Hijab
Puasalah 7 hari (tidak boleh makan makanan yang bernyawa/telur)
Lakukan sholat saat tengah malam minimal 2 roka’at
Selanjutmya bacalah Sholawat di bawa ini, namun hendaknya sebelumnya tawwasul terlebih dahulu:
1. Ila hadhroti Nabiyil Musthofa Muhammad SAW. wa’ala ‘alihi wa ashhabihil kiromil lahumul Fatehah.
2. Waila hadhroti jamiil anbiya’i walmursaliyn waila malaikati muqorrobiyn waila jami’il auliyai was-Syuhada’i wal fuqqohai wash sholihin wal-‘ulama’amalin wa ali kullin wa atbai kullin waila arwahi Abiyna Sayyidina Adam wa ummiyna Hawwa wamatanasalu baynahuma ila Yaumidin lahumul Fatehah.
3. Wakhusushon ila ruhi Sulthonil auliyai Syech Abdul Qodir al Jaelani ra. Wa ushulihi wafuruihi wamasyechihi wa-Ahli baitihi lahumul Fatehah.
4. Khusushon Syech Aly Hasani As-Syadzali ……. Sirri lahumul-fatehah 27x …
5. Khusushon wamasyechina Sulthon Malik Rifa’i shohibi ijazahi wanasyirihi lahumul Fatehah.
6. Khushushon Man ijazani …………. Sirri lahumul Fatehah
7. Waila ruhi abaiyna wa ummiyna wa ajdadina wamasyechina wa jami’il muslimin wal muslimat wal mu’minin wal mu’minat al ‘ahya’i minhum wal amwat khusushon jami’il hajati …………… aushohibil hajati lahumul Fatehah.
“Allaahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaa Sayyidina Muhammadinin nuurdz-dzaatii was-sirris saarii fi saa’iril ‘asmaa’i wash-shifaati.” 1001x ….
Selama puasa Sholawat dibaca habis sholat fardhu minimal 200x …..
Setelah selesai puasa Sholawat tsb. Di atas di amalkan istiqomah setiap hari minimal 100 –300x
Faedahnya Insya Allah:
Di bukakan oleh Allah pintu Ma’rifat.
Di bukakan rahasia langit dan bumi.
 Mengetahui kejadian masa lampau dan yang akan datang.
 Mampu Bertemu dan berdialog dengan bangsa khodam, ruh, jin dan semua makhluk ghoib.
 Dan masih banyak lagi manfaa’at yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Apabila ingin menggunakannya sholawat cukup di baca 3x tanpa nafas.
Al-Faqir:

SYEKH YUSUF AL-MAKASARY AL- BANTANY

Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu. Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’. Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja. Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640. Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya. Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka. Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini. Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji. Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf. Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi). Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri. Terlibat pergerakan naasional Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah. Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan. Menekuni jalan dakwah Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher). Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.
Syekh Yusuf di Sri Lanka 
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
 Syekh Yusuf di Afrika Selatan 
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’. Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit. Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.

Tingatan Wali-Wali....

Di Indonesia wali songo merupakan wali yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Beliau beliau ini dikenal banyak memiliki karomah dan kesaktian, wajar saja jika wali dikaruniai kelebihan karena tugas mereka sangatlah berat dalam membina umat, menjaga Islam dan sebagai “paku bumi” agar bumi tetap memiliki keseimbangan hidup.
Sedikitnya terdapat 9 tingkatan wali dan kedudukannya. Menurut Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Karena jumlah nya yang sangat banyak (ada yang terbatas maupun yang tidak terbatas), maka secara garis besar nya diringkas sebagai berikut :
Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.
Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.
Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.
Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.
Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.
Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.
Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.
Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.
Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.
Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw

Dalalilul Khairot.

Dalam tradisi kaum pesantren NU banyak sekali amalan dzikir yang dilakukan secara kelompok atau perorangan, hampir di semua pesantren melakukan hal tersebut, salah satu diantaranya adalah pembacaan sholawat yang tersusun dalam sebuah buku, amalan tersebut dibaca setiap hari dengan bacaan yang berbeda  tergantung harinya. orang pesantren menamakan kitab ''Dalailul khairot" atau lebih gampangnya Dalail. Ada aturan yang tak tertulis bagi santri yang hendak mengamalkan dalalil tersebut, ya...salah satu diantaranya adalah santri tersebut biasanya yang mukim atau mau menetap di rumahnya. Santri tersebut akan diberikan berbagai macam ijajah, salah satu diantaranya adalah dalail tersebut.

Kitab Dalail Khairot ditulis oleh seorang ulama yang bernama Syekh Sulaiman al-Jajuli, beliau dilahirkan di barat pantai Maroko, Afrika. belliau termasuk suku Bar-bar '' suku yang menaklukan jabal tarik, Anadalusia Sepanyol, barat lebih senang menyebutnya selat Gibral tar, pada masa pahlawan shabat Tarik bin Jiad''. cukup menarik, awal beliau menulis kitab Dalailul khairot, hanya gara-gara belaiau mau wudlu sholat Dzohor tidak menemukan air, akhirnya ketemu dengan seorang gadis kecil yang jadi penolong ulama tersebut.

Kitab Dalailul Khairot hanya sekumpulan sholawat dan nama-nama Allah yang di bacanya setiap hari.Bagi mereka yng selalul mengamalkan sholawat sebbenarnya bacaan ini sudah tidak asing lagi. Bacaan dalam kitab Dalalil setiap harinya selalu berbeda tergantung hari serta ada batasan hari. seperti untuk hari senin tidak sama dengan hari selasa, hari rabu tidak sama dengan hari kamis dan seterusnya, namun untuk hari senin ada amalan yang khusus yakni dengan permintaan do'a.

Untuk pengamalan Torikathnya, syekh Sulaiman al-Jajuli mengikuti tarikat Syekkh Abu Hasan Syadzili dengan sebutan Tarikat Syadzaliyah, makanya sebelum membaca kitab Dalail, ada hadarot yang khusus di sampaikan kepada syekh Syadzili.Dikalangan kaum srungan  atau sntri NU pembacaan Dalail sangat mashur dan selalul menjadi masternya bagi mereka yang mau muqim atau menetap.

Kitab yang berisi hanya tentang shalawat dan pujian terhadap Rasululloh serta bacaan Asmaul Husna, di tempat kelahiran Rasululloh saw negara Arab Saudi yang berfaham Wahabiyah  dilarang beredar apalagi dibaca oleh penduduk sana, mereka beranggapan bahwa kitab tersebut mengandung kemusrikan, persis sama halnya dengan kitab syamsul Ma'arif yang di tulis oleh syekh Ali al-Buni. dikalangan pesantren kitab Syamsul Maarif sangat menarik dan serinng diburu oleh para ahli hikmat.

Kitab Dalailul Khairot juga  salah satu yang menginsfirasikan Ulama Jawa dalam pembentukan komite hijaj yang kemudian hari menjadi Organisasi terbesar tanah air yakni NU.

sebagi generasi penerus kitab Dalalilul Khairot sangat penting untuk dibaca kembali sekaligus sebagai pelestarian tradisi yanng lama jangan sampai tradisi tersebut hilang tanpa bentuk.  Wasalam.....

Sabtu, 19 Mei 2012

Wilayah (Kewalian) seorang Ibu dan Ghawts ul-A’zham


Cerita ini dikisahkan oleh almarhum Syaikh Zakariya bin ‘Umar Bagharib Singapore (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), yang adalah putra dari Syaikh ‘Umar bin Abdullah Bagharib (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), seorang mursyid Tariqah Qadiriyah di Singapore.
Syaikh Zakariya Bagharib pernah bercerita bahwa suatu saat di masa hidup Ghawtsul A’zham Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy1) (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), sang Sulthanul Awliya’ tengah berada di lingkungan Masjidil Haram. Saat berada di sana, beliau (Syaikh ‘Abdul Qadir) merasa takjub ketika melihat seorang wanita yang tengah melakukan thawafmengelilingi Ka’bah dengan hanya satu kakinya. Melalui firasat beliau, fahamlah Syaikh ‘Abdul Qadir bahwa wanita tersebut bukanlah wanita biasa, melainkan pastilah seorang Wali. Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailaniy pun mencoba mencari tahu level atau maqam atau kedudukan sang Wanita Waliyyah tersebut. Beliau pun mencoba ke level 1 (Wali ‘rendahan’), tak dijumpainya ruuhaniyyah wanita itu. Ke level 2, tak ada. Level 3, 4, … tak ada pula. Hingga sampai mendekati maqam Ghawtsiyyah beliau sendiri, tak juga ada. Akhirnya, menyerah juga, dan memohonlah beliau ke Hadirat Allah SWT yang kira-kira secara bebas
dapat dibahasakan sebagai berikut, “Yaa Allah, siapakah wanita ini yang tak dapat kulihat maqam wilayahnya?” (Sedangkan Syaikh Abdul Qadir Jailani terkenal dengan ucapannya ‘Kakiku berada di leher para Awliya”’)
“Yaa, ‘Abdal Qadir, ikutilah wanita itu bila engkau ingin mengetahui maqam wilayahnya”
Sang Ghawts pun membuntuti wanita tersebut, hingga akhirnya beliau mengetahui bahwa ternyata, wanita tersebut sebenarnya tidaklah buntung kaki yang satu. Yang terjadi adalah, wanita tersebut sebenarnya tengah menyusui anaknya. Anaknya yang kekenyangan tertidur di pangkuan kakinya. Dan dengan karamahnya sang Waliyyah ini ‘memutus’ sementara satu kaki agar anaknya tak terbangun, sementar ia pun menuju Masjidil Haram untuk berthawaf dengan hanya satu kaki. Dan ketika kembali ke anaknya yang masih terlelap dalam tidur, ia pun menyambungkan kembali kaki tadi.
Subhanallah. Itulah wilayah seorang wanita yang dicapai melalui kasih sayang keibuannya. Mawlana Syaikh Muhammad Nazim ‘Adil Al-Haqqani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih) pun sering menyebutkan betapa dekat seorang wanita dengan darajah Wali… lewat keibuan (motherhood). Sayangnya, banyak wanita di zaman ini, termasuk dari kalangan Muslimah meninggalkan keibuan/motherhooddan menganggapnya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.
Dan sungguh ternyata kita tidak pernah tahu berapa dan betapa banyak hamba-hamba Allah (rijaalallah wa ‘ibaadallah) yang Ia SWT sembunyikan dalam kubah wilayah-Nya.
Catatan kaki:Menurut almarhum Mawlana Syaikh Husayn ‘Ali ar-Rabbani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani memegang maqam Ghawtsiyyah selama 3 tahun. Sebelum beliau adalah Mawlana Syaikh Yusuf Al-Hammadaniy (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), dan setelah beliau adalah Mawlana Syaikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujdawani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih). Maqam Ghawtsiyyah adalam maqam tertinggi wilayah, sebagai representasi Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam.

Sabtu, 10 Maret 2012

PENANTIAN....

dilihatnya anak itu yang tertidur pulas di kasur yang sudah lusuh,sesekali nenek itu menyingkirkan nyamuk yang hinggap di lengannya.dia sulit memejamkan matanya, pikirannya jauh menerawang dengan tatapan kosong.
wanita separuh baya itu hidup berdua dengan cucunya,sedangkan suaminya telah lama meninggal dunia akibat tertabrak mobil ketika sedang mengayuh sepeda untuk menjajakan es crim.kemiskinan yg melilit hidup wanita itu,menuntut anak semata wayangnya untuk bekerja di luar negri,memang dikampung itu,banyak anak mudanya merantau kenegri sebrang,entah kerja apa, yg jelas setiap bulannya selalu datang pundi rupiah.
udara malam semakin dingin,terdengar sayup-sayup lolongan anjing,di rumah sebelah terus menyalak. si nenek itu masih sulit untuk memejamkan mata padahal jam diniding yang tergantung di tembok ,jarum jamnya sudah menujukan pukul dua malam.
'kenapa malam ini aku sulit tidur'' kata nenek dalam hatinya.tiba-tiba dia teringat anaknya yang sedang mencari pundi rupiah di negri sebrang.
''ada apa ,yah.....sudah dua hari ini aku teringat anakku terus,wajahnya,rambutnya sampai dia tersenyumpun aku ingat...
naluri seorang ibu,biasanaya sangat tajam ditambah dengan indra keenamnya sering menunjukan sebuah keakuratan.
sudah satu tahun''badriyah'' anak nenek ijah pergi merantau kenegri jiran ''malaysia'' kemiskinan yang melilit kelurga nya,mengahruskan badriyah untuk merantau.
berat rasanya meninggalkan nenek dan anakku di rumah ini,tapi aku harus menyingkirkan kemiskinan ini dengan semampuku,aku tak ingin anakku hidupnya kelak seperti diriku,pendidikanku hanya tamat SMP dan aku berhenti ketika masuk tahun kedua di sekolah kejuaruan di kota,lagi-lagi ketidak biayan yg bisa menghentikanku,padahal aku tergolang siswa yang sangat aktif dan pintar dan ini di buktikan ,aku selalu meraih juara kelas dan sering kali mewakili sekolahku dalam pemilihan siswa teladan.

udara malam semakin dingin,sampai menusuk pori-pori kulitku,nenek ijah sedang duduk membaca Alqur'an,tiba-tiba badriyah duduk di sampingnya.
'ada apa nak...' tanya ijah ,kepada anak satu-satunya yang dilihatnya dari tadi selalu gelisah dan termenung.
bu aku ingin merantau,kata badriyah...'merantau kemana, kamu nak'' tanya ibu ijah...'bukankah kamu masih punya anak kecil.
justru itu,karena dia lah sy ingin merantau,sy harus bekerja,saya harus merubah nasib ini,sy tidak ingin anakku kelak seperti begini terus,''saya harus merantau untuk merubah kahidupan kita ..bu, kata badriyah.dengan gamblangnya.
terus onngkosnya dari mana nak.tanya nenek ijah.
kita kan masih punya tiga ekor sapi,bagaimana kalau yang satunya kita jual saja buat ongkos masuk keyayasan tenaga kerja itu, bu....jawab badriyah.
bisa cukup nggak nak,tanya nenek ijah. ''insya Allah,pasti cukup.jawab badriyah, dengan keyakinan yang kuat.sebenarnya keberangkatan badriyah untuk mencari kerja,bukan satu-satunya alasan,akan tetapi ada alasan yang paling kuat yaitu ingin melupakan kenangan rumah tangganya dengan badrun,yang ternyata dia telah berselingkuh dengan bosnya,dimana dia bekerja.memang bosnya itu seorang janda kaya, yang berprofesi tukang rias penganten dan penyewaan peralatan pesta.

setahun sudah terlewati,kabar berita pun tak kudengar, kemana yah..anakuku bekerja kata nek ijah sambil membereskan kayu bakar yang berserakan,ketika badriyah masih ada biasanya dia yg merapikan kayu-kayu bakar ini.sesekali matanya tertuju ke cucunya yang sedang memainkan boneka yang terbuat dari daun singkong. kerinduan kepada kepada anaknya buat nek ijah sebenarnya terhapus ketika melihat kebeningan wajah dan mata dari cucunya itu.

siang itu dikantor kelurahan sedang ramai membicarakan,bahwa tertangkapnya seorang calo tenaga kerja,yang suka memberangkatkan orang pencari kerja kenegri sebrang.
dengan iming-iming mahalnya upah atau gaji yang di dapat di tambah dengan penampilan orang tersebut,keluarlah kalimat rayu yang manis dan meyakinkan.
banyak memang orang yang mulai tergoda dan pada akhirnya menjual harta yang ada sebagi ongkos masuk kedalam yayasan pencari tenaga kerja.
masarakat pedesaan khususnya daerah terpencil, kaum muda yang produktifnya banyak tergiur akan keberhasilan yang di dapat.padahal dalam perjalanannya banyak terselip penjualan manusia.

sempat ada petugas pendata kelurahan,menanyakan kepada nek ijah,kemana kerjannya Badriyah
,namun sebelum di jawab,nek ijah langsung masuk untuk mengambil sesuatu dan kemudian di serahkannya map yang berwarna kuning.
'saya tidak tahu nak',yang saya tahu sebelum dia pergi dia menyerahkan buku ini kepada nenek,' kt nek ijah.
dua orang petugas pendata itu yang berseragam kelurahan,memeriksa berkas lembaran tersebut dengan teliti, dan kemudian di catatnya,dan catatan itu dimasukan kedalam buku kelurahan.sebelum meninggalkan tempat nek ijah, petugas kelurahan tersebut berpesan ,tolong ini diseimpan dengan rapih sewaktu-waktu ini akan diperlukan lagi.

malam semakin dingin, petugas ronda sudah mulai berdatangan ke posnya. semenjak di tangkapnya calo tenaga kerja,semakin ketat pengawasan kampung tersebut.keramain di pos ronda di tambah dengan terdengarnya lagu dangdut diselingi minuman kopi dan goreng singkong, menambah rasa kebersamaan dan keguyuban masarakat desa dalam menjaga kampung.
keramian di pos ronda,tidak menyentuh hati nek ijah yang sedang dilanda kesunyian dan kegelisahan. pikiran nek ijah hanya satu mudah-mudahan kau selamat anakku.
lagu dangdut 'diambanng sore'di nyanyikan suara Iis dahlia yang terdengar di pos ronda, sangat menyentuh hati nek ijah,karena nek ijah tahu bahwa lagu jadul ini pernah populer pada jamannya dulu.

'aku ingin kau pulang nak,aku rindu,aku kangen' kata nek ijah dalam hatinya,aku akan menantikanmu sampai kapan pun.di sore itu, nek ijah duduk termangnu sambil melihat cucunya yang sedang berlarian di halaman rumahnya.tak terasa air mata nenek itu mengalir ketika anaknya yang di rindukannya tak kunjung datang....aku rindu..nak....

'tiap sore kunantikan...........................

Jumat, 09 Maret 2012

CINTA

KU TAHU ENGKAU MENCINTAIKU....
KU TAHU ENGKAU SAYANG PADAKU...
NAMUN KU TIDAK TAHU..PERASAANMU......

KU TAHU ENGKAU MENANGIS....
KU TAHU ENGKAU TERTAWA........
NAMUN KU TIDAK TAHU....PERASAANMU......

CINTAMU DAN SAYANG MU...APAKAH MENYATU DENGAN PERASAANMU.....
TANGISMU DAN TAWAMMU..BISAKAH KAU SATUKAN DENGAN CINTAMU PADAKU...
SAYANGKU.....JANGAN KAU BUNUH PERASAANMU ....
PERASAANMU AKU TIDAK TAHU.....

CINTAKU........AKU SANGAT BENCI CINTAMU   YANG   TAK BERPERASAAN....PADAKU....

Sabtu, 07 Januari 2012


Kanjeng Ratu Kidul

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja. 
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya.

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?

Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.

Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.

Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.

Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.

Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.

Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.

Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.

source: http://beritadunia.co.tv/misteri-ratu-pantai-selatan