Syekh Yusuf Penyebar Islam di Afrika Selatan
Minggu, 12 Agustus 2012 | 06:30
Syekh Yusuf al-Makassari (sumber: www.nu.or.id)
Syekh Yusuf al-Makassari berjuang menyebarkan syiar Islam, memelihara dan mempertahankan agama Islam di Afrika Selatan.
Muhammad Yusuf lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada 13 Juli 1627. Ayahnya
bernama Abdullah, sementara ibunya adalah seorang perempuan keluarga
Kerajaan Gowa Sultan Ala'uddin yang bernama Aminah. Nama Muhammad Yusuf
diberikan oleh Sultan Ala'uddin sendiri.
Seperti yang dikutip dari situs
NU Online,
Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan Islam yang terdapat di
daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.
Kerajaan ini terletak di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten
Gowa dan beberapa kabupaten di sekitarnya termasuk Kotamadya Makassar.
Muhammad Yusuf dididik menurut tradisi Islam yang kuat. Ia diajarkan
Bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini.
Sebagai seorang putera keluarga bangsawan, Muhammad Yusuf berkesempatan
mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama
ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di
pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.
Karena salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus berada di
Cikoang, sebagai seorang putera keluarga bangsawan maka Muhammad Yusuf
pun berkesempatan belajar ke sana. Cikoang pada saat itu merupakan
perkampungan para guru-guru agama.
Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai
keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW. Pada usia 15 tahun
Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf,
mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Beberapa di antara para guru
Muhammad Yusuf yang terkenal adalah Syeikh Jalaludin al-Aidit, Sayyid
Ba'lawi At-Thahir dan Daeng Ri Tassamang.
Secara geografis, Cikoang saat ini berada termasuk ke dalam wilayah
kecamatan Mangarabombang Kabupaten Talakar yang terletak di bagian
selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 60 km dari Kota
Metropolitan Makassar.
Hingga saat ini, di Cikoang terkenal dengan ritual Maulid Akbar Cikoang
atau biasa disebut Maudu' Lompoa Cikoang (dalam bahasa Makassar) yang
merupakan perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Dalam perayaan ini digelar berbagai atraksi budaya dengan ritual-ritual
keagamaan yang digelar setiap tahun di Bulan Rabiul Awal.
Berdakwah dan Mengembara
Sekembalinya belajar dari Cikoang Muhammad Yusuf menikah dengan seorang
putri Sultan Goa. Pada usia 18 tahun kemudian Muhammad Yusuf memulai
pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1644, dengan menumpang
kapal Melayu, Muhammad Yusuf segera berlayar untuk menunaikan ibadah
haji dan memperdalam ilmu-ilmu agama di Timur Tengah.
Sesuai rute perjalanan kapal Melayu yang singgah di berbagai pelabuhan
kerajaan-kerajaan Nusantara waktu itu, Muhammad Yusuf banyak menyinggahi
berbagai daerah Nusantara. Salah satu yang kemudian menjadi sangat
penting dalam perjalanan hidup dan perjuangan Muhammad Yusuf adalah
Banten, sebuah pelabuhan dagang yang dikendalikan oleh Kerajaan Islam
Banten.
Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra
mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1683), seorang penguasa terakhir Kesultanan Banten. Selain Banten,
Muhammad Yusuf juga sempat singgah di Aceh dalam perjalanan
pengembarannya ini.
Dari Aceh, Muhamamad Yusuf kemudian berlayar ke Gujarat, Sebuah kawasan
yang menjadi salah satu negara bagian India sejak 1 Mei 1960. Gujarat
dikenal sebagai tempat yang asal para wali penyebar agama Islam di
Nusantara, termasuk beberapa wali songo yang kemudian bermukin di Jawa.
Di Gujarat inilah dikabarkan Muhammad Yusuf sempat bertemu dengan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin,
raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli
fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah
Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji
bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat,
India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy,
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Muhammad Yusuf bertemu dangan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniri ketika Muhammad Yusuf singgah di Aceh. Hal ini
didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H./21 September 1658 M. di Aceh.
Pada masa-masa sebelum tahun 1658 inilah Muhammad Yusuf bertemu dengan
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh. Dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniri,
Muhammad Yusuf belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah.
Dari Aceh, Muhammad Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus
(Suriyah) hingga akhirnya ke Mekkah dan Madinah. Konon, Muhammad Yusuf
sempat berkelana hingga ke Istanbul (Turki) yang disebut dalam
tambo-tambo Melayu sebagai 'Negeri Rum'. Di Yaman, Muhamamd Yusuf
berguru pada Syeikh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi,
Di Damaskus Muhammad Yusuf berguru kepada Syeikh Abu Al-Barkah Ayyub bin
Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Konon gurunya inilah yang
memberikan laqob (gelar panggilan) kepada Muhammad Yusuf dengan
“Al-Makassari.” Syeikh Abu Al-Barkah adalah gurunya yang memberikan
ijazah Tarekat Khalwatiyah kepadanya. Kelak, setelah Muhammad Yusuf
menjadi seorang ursyid, Ijazah Tarekat Khalwatiyah inilah yang kemudian
menjadikannya dikenal sebagai Syeikh Yusuf Tajul Khalwati.
Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah) Muhamamd Yusuf telah
dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang
datang naik haji ke Tanah Suci. Konon Muhammad Yusuf yang telah menjadi
guru dan dipanggil sebagai Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat
menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi'i di Mekkah
yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi.
Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syekh Muhammad Yusuf
al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi
di Jeddah.
Berjuang Melawan Penjajahan
Dengan Kedua Isterinya, isteri pertama yang menemaninya selama berkelana
dan isteri ketiga yang baru dinikahinya sewaktu di Jeddah, Syekh Yusuf
al-Makassari pun kembali ke Nusantara. Beberapa sumber menyebutkan,
Syekh Yusuf al-Makassari tidak pernah kembali ke Gowa, namun langsung
menetap di Banten.
Sementara beberapa pendapat menyebutkan, setelah Kesultanan Gowa
mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Belanda, Syekh Yusuf
al-Makassari kembali berlayar ke Banten, ke tempat sahabatnya semasa
remaja yang kini telah menjadi seorang raja bergelar Sultan Ageng
Tirtayasa.
Di Banten, Sekitar tahun 1670 Syekh Yusuf al-Makassari diangkat menjadi
mufti (penesehat spiritual) dengan murid dari berbagai daerah, termasuk
400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Syekh
Yusuf al-Makassari tinggal kemudian menikah lagi dengan Putri Sultan
Ageng Tirtayasa.
Kedalaman ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf menjadikan Beliau begitu cepat
terkenal dan menjadikan Banten sebagai Pusat pendidikan Islam. Banyak
Murid murid yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk belajar
kepada Syekh Yusuf al-Makassari. Disamping mengajarkan tentang ilmu-ilmu
syariat beliau juga mengajarkan ilmu beladiri untuk berjuang bersama
melawan penjajah Belanda. Sehingga banyak di antara para pendekar di
kesultanan Banten adalah murid Syekh Yusuf al-Makassari.
Murid-murid Syeih yusuf Al makassari terkenal sebagai pendekar pendekar
Banten yang kebal terhadap senjata membuat Pasukan Belanda kalang kabut.
Syekh Yusuf al-Makassari memiliki pengaruhnya yang sangat besar
terhadap rakyat Banten untuk melawan Penjajah Belanda.
Syeikh Yusuf al-Makassari memiliki peran sangat penting dalam penyerbuan
Banten ke Batavia. Ketika Belanda berhasil memecah belah serta mengadu
domba terhadap keluarga Sultan, maka Banten terpaksa direpotkan oleh
pemberontakan dari dalam keluarga kerajaan sendiri. Sultan Ageng
Tirtayasa pun terpaksa berperang melawan puteranya sendiri yang bernama
Sultan Haji dengan dukungan militer Belanda. Syekh Yusuf al-Makassari
beserta 4.000 tentara Makassar dan Bugis memihak Sultan Ageng Tirtayasa.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf
al-Makassari pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syekh Yusuf
al-Makassari terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya
mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga
ke Karang dekat Tasikmalaya.
Namun pada tahun ini juga Syekh Yusuf al-Makassari dapat ditangkap oleh
Belanda. Awalnya, Syeikh Yusuf al-Makassari ditahan di Cirebon
kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang
begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syekh Yusuf
al-Makassari dan keluarga kemudian diasingkan ke Sri Lanka.
Pada bulan September 1684, Syekh Yusuf al-Makassari bersama dua
istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu
dibuang ke pulau Ceylon, kini Sri Lanka. Sementara Sultan Ageng
Tirtayasa sendiri berhasil ditangkap dan dikurung di Batavia hingga
meninggal sebagai tawanan Belanda pada tahun 1692.
Karena telah berada dalam pengasingan Belanda, maka sejak di Sri Lanka
inilah secara praktis, Syekh Yusuf al-Makassari tidak lagi dapat
menjalani dan memimpin perjuangan fisik. Maka Syekh Yusuf al-Makassari
pun mulai mencurahkan seluruh hidupnya untuk diabdikan dalam penyebaran
dan pengembangan agama Islam. Syekh Yusuf al-Makassari kemudian menulis
karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis.
Di pengasingannya di Sri Lanka, Syekh Yusuf al-Makassari bertemu dengan
ulama Sri langka bernama Syekh Ibrahim bin Mi'an dan sering mengadakan
diskusi kegamaan dan majlis ta'lim. Pembahasan tentang konsep Tasawuf
yang diajarkan oleh Syekh Yusuf al-Makassari sangat menarik minta para
ulama serta jamaah setempat dan mereka meminta kepada Syekh Yusuf
al-Makassari untuk membuat sebuah kitab tentang tasawuf. Syekh Yusuf
al-Makassari akhirnya mengarang Kitab tentang konsep tawasuf yang
berjudul 'Kaifiyatut Tasawwuf'.
Dari pengasingannya, Syekh Yusuf al-Makassari aktif menyusun sebuah
jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri
Lanka, di kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Melalui
jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat
berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara.
Para kafilah haji inilah yang membawa karya-karya Syekh Yusuf
al-Makassari ke Nusantara sehingga dapat dibaca di Indonesia sampai
sekarang. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf al-Makassari tetap aktif
menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya
berasal dari India Selatan.
Dakwah Tiada Henti
Mengingat aktivitas dakwah Syekh Yusuf al-Makassari yang terus meningkat
dan dinilai membahayakan stabilitas politik penjajahan Belanda, maka
VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syekh Yusuf al-Makassari ke
Kaapstad di Afrika Selatan. Belanda khawatir dampak dakwah agama Syeikh
Yusuf al-Makassari akan berpengaruh buruk bagi dan politik Belanda di
Nusantara. Murid-murid Syekh Yusuf al-Makassari terus mengobarkan
perlawanan-perlawanan yang mengancam kekuasaan Belanda di Nusantara.
Dalam usia 68 tahun, Syekh Yusuf al-Makassari beserta rombongan
pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2
April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syekh Yusuf al-Makassari di
tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan
tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang
telah datang lebih dahulu. Syekh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman
di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.
Bersama ke-12 pengikutnya yang dinamakan imam-imam, Syekh Yusuf
al-Makassari memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di
kalangan budak belian dan orang buangan politik, termasuk di kalangan
orang-orang Afrika kulit hitam yang telah dibebaskan dan disebut
Vryezwarten.
Syekh Yusuf al-Makassari terus berjuang menyebarkan syiar Islam,
memelihara dan mempertahankan agama Islam di Afrika Selatan. Syekh Yusuf
al-Makassari kemudian hidup sebagai sufi yang mengajarkan tarekat
Qadiriyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika
Selatan.
Karomah dan Kewalian
Sebagai seorang mursyid tarekat, Syekh Yusuf al-Makassari dikisahkan
memiliki berbagai karomah dan kewalian. Salah satu yang sangat terkenal
adalah mengislamkan kapten kapal yang membawanya ke pengasingan terakhir
menuju Afrika Selatan.
Menurut cerita, dalam pelayaran yang membawanya menuju Kapstaad, atas
kapal Voetboog yang ditumpanginya beserta rombongan dihantam oleh badai
besar yang membuat nakhoda berkebangsaan Belanda, Van Beuren, ketakutan
karena mengira kapalnya akan tenggelam.
Namun berkat wibawa dan karisma Syekh Yusuf al-Makassari kapten beserta
nahkoda kapal dapat tetap tenang dan mengendalikan kapal dengan selamat
sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang kapten memeluk
agama Islam dan turut tinggal di pengasingan bersama Syekh Yusuf
al-Makassari. Sampai sekarang keturunan kapten kapal ini tetap memeluk
Islam Muslim masih bermukim di Afrika Selatan.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf al-Makassari tetap berdakwah, dan
memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699. para
pengikut Syekh Yusuf al-Makassari menjadikan hari wafatnya sebagai hari
peringatan.
Syekh Yusuf al-Makassari dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya
terkenal sebagai Karamah yang berarti keajaiban atau mukjizat. Bahkan,
Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menyebut Syekh Yusuf
al-Makassari yang juga salah seorang pahlawan nasional Indonesia ini
sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.
Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syekh Yusuf al-Makassari
dibawa kembali ke Tanah Airnya. Permintaan ini dikabulkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga jasad Syekh Yusuf al-Makassari pun
diboyong kembali ke Nusantara.
Jasad Syekh Yusuf al-Makassari tiba di Goa pada tanggal 5 April 1705 dan
dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada
hari Selasa tanggal 6 April 1705/12 Zulhidjah 1116 H.
Seperti makamnya di Faure, makamnya di Lakiung juga banyak diziarahi masyaraka